Untukmu, yang kusebut rumah dalam setiap rindu…
Aku menulis surat ini di tengah malam yang sunyi, saat semua orang tertidur lelap, saat hanya aku yang masih terjaga dengan segelas kopi yang mulai dingin. Aku menulisnya karena ada begitu banyak kata yang ingin kusampaikan, begitu banyak rasa yang tak sanggup lagi kupendam.
Entah bagaimana cara menjelaskannya…
Setiap hari, aku merindukanmu dengan cara yang mungkin tak akan pernah kau mengerti sepenuhnya. Rindu yang menyesakkan, tapi sekaligus hangat, karena aku tahu orang yang kurindukan adalah kamu—seseorang yang begitu berarti, yang bahkan dalam diam pun selalu membuat hatiku berdebar.
Sayang,
Meski kita terpisah oleh waktu, jarak, dan keadaan yang sering kali tidak berpihak, aku ingin kau tahu: aku tidak pernah berhenti menyayangimu. Bahkan ketika komunikasi kita terputus, bahkan ketika pesan-pesan kita tertunda atau tak terbalas, perasaanku tetap utuh. Bukankah cinta yang tulus memang selalu punya caranya sendiri untuk bertahan?
Aku masih ingat percakapan terakhir kita—pendek, sederhana, tapi penuh arti. Ada nada lelah di suaramu saat itu, tapi juga ada kelembutan yang tak pernah hilang. “Kita harus kuat,” katamu. Dan aku hanya bisa menjawab, “Aku akan selalu kuat, selama ada kamu.” Namun setelah itu, keadaan kembali membungkam kita. Hanya ada diam, hanya ada rindu yang menggantung di udara.
Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, sampai kapan kita harus seperti ini? Sampai kapan aku harus menahan diri untuk tidak meneleponmu di tengah malam hanya karena takut mengganggumu? Sampai kapan kita harus bertahan dengan rasa yang hanya bisa disampaikan lewat doa?
Tapi kemudian aku ingat: cinta ini bukan tentang seberapa sering kita bicara, tapi tentang seberapa dalam kita percaya. Percaya bahwa semua ini sementara, percaya bahwa ada hari di mana kita bisa tertawa bersama tanpa ada lagi batasan.
Sayang,
Jika saja kau tahu, setiap malam aku selalu membayangkan hari itu. Hari di mana aku melihatmu berdiri di depan mata, bukan lagi di layar ponsel atau di dalam mimpi. Hari di mana aku bisa menggenggam tanganmu, merasakan hangatnya kulitmu yang selama ini hanya bisa kubayangkan. Aku ingin sekali membisikkan kata-kata yang selama ini kupendam:
“Terima kasih karena sudah bertahan. Terima kasih karena sudah tidak menyerah pada kita. Aku mencintaimu, lebih dari kata-kata yang pernah kita tulis satu sama lain.”
Aku tahu, semua ini tidak mudah. Ada hari di mana aku hampir menyerah, ada malam di mana aku menangis diam-diam karena rindu yang begitu berat. Tapi setiap kali aku ingin berhenti, hatiku selalu berkata: “Bertahanlah. Dia layak untuk diperjuangkan. Kalian layak untuk bahagia bersama.”
Mungkin saat ini kita hanya bisa saling menyapa lewat doa. Aku mendoakanmu setiap hari—agar kau sehat, agar kau bahagia, agar kau tidak pernah merasa sendiri meski aku tak selalu ada di sampingmu. Dan aku yakin, di sudut hatimu, ada doa yang sama untukku.
Sayangku,
Suatu hari nanti, ketika waktu sudah berpihak kepada kita, aku akan membawamu ke tempat yang paling kau inginkan. Kita akan berjalan bersama di bawah langit senja, membicarakan segala rindu yang pernah kita tahan, tertawa tentang perjuangan yang pernah kita lalui, dan berjanji untuk tidak pernah lagi membiarkan jarak memisahkan kita.
Sampai hari itu tiba, aku hanya bisa berkata: yakinlah padaku. Jangan pernah ragukan perasaanku. Aku akan selalu ada untukmu—meski tak selalu dalam wujud yang bisa kau lihat, tapi selalu dalam doa yang kau rasakan.
Aku mencintaimu. Hari ini, besok, dan seterusnya.
Aku akan menunggumu, sesakit apapun rasanya, sampai semesta sendiri ikut merestui kita untuk akhirnya bahagia bersama.
Selalu milikmu,
—Aku.