Aku masih ingat, di sudut ruang maya itu, kita dulu saling menyapa hangat. Kata-kata kita menari seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi, menyala, lalu padam perlahan. Tapi hari ini berbeda…
Kamu datang—aku tahu kamu ada di sana. Jejakmu masih hangat, seperti aroma hujan yang tertinggal di dedaunan. Namun, tak ada satu pun kata terucap untukku. Tidak ada “hai” yang sederhana, tidak ada senyum virtual yang dulu selalu kamu bagikan tanpa ragu. Hanya hening. Hening yang menikam lebih tajam dari ribuan jarum hujan.
Aku mencoba memahami, mungkin ada badai di hatimu yang tak sempat kau ceritakan. Mungkin ada luka yang membuatmu memilih diam. Tapi tidakkah kau tahu? Diam itu terasa seperti dinding dingin yang memisahkan kita, padahal aku di sini masih menunggu, seperti lilin yang tetap menyala meski angin berusaha memadamkannya.
Rasanya sesak, seperti ruang antara dua detik yang terlalu panjang. Aku ingin berteriak, “Sapalah aku, meski hanya sekali!” Tapi bibir ini kelu, jemari ini ragu, takut hanya akan membuatmu semakin jauh.
Aku rindu… rindu cara kita tertawa, rindu caramu menyebut namaku dengan nada lembut. Kini hanya ada aku dan sunyi yang menggerogoti setiap percakapan yang tak jadi kita mulai.
Jika kau membaca ini, ketahuilah: aku masih di sini. Masih dengan hati yang sama, menunggu sapamu, meski hanya satu kata. Karena bagiku, satu sapaan darimu lebih berarti daripada seribu kalimat dari dunia.